Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan kelompok kriminal bersenjata (KKB) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah organisasi teroris.
Pernyataan ini dikeluarkan Mahfud tak lama setelah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Papua Brigjen I Gusti Putu Danny Nugraha Karya tewas dalam insiden baku tembak dengan KKB di Kampung Dambet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua, pekan lalu.
"Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris," kata dia, dalam konferensi pers di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (29/4).
Mahfud mengatakan keputusan pemerintah ini merujuk pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ia juga telah meminta TNI dan Polri beker jasama untuk segera melakukan pergerakan menangkap para teroris di Papua tersebut.
Keputusan pemerintah ini mendapat berbagai respons. Beberapa pikak mendukung, namun lebih banyak yang menolak dan meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut.
Gubernur Papua, Lukas Enembe meminta pemerintah pusat mengkaji kembali pemberian label teroris terhadap KKB. Lukas khawatir pemberian label itu justru akan memberi stigma negatif terhadap masyarakat Papua.
"Hal ini ditakutkan akan memunculkan stigmatisasi negatif yang baru bagi warga Papua yang berada di perantauan," kata Lukas.
Asisten Kapolri bidang Operasi, Irjen Imam Sugianto menyebut pihaknya saat ini tengah membahas penerapan aturan hukum UU 5/2018 terhadap para KKB di Papua.
"Mungkin kajiannya di Undang-undang penegakan hukumnya. Kalau memang unsur-unsur bisa masuk dalam Undang-undang atau tindak pidana terorisme, ya bisa saja diterapkan itu," kata Imam.
Senada, Direktur Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Eddy Hartono mengatakan label teroris terhadap kelompok yang juga memperjuangkan kemerdekaan Papua itu diberikan untuk mempersempit ruang gerak dan pendanaan mereka.
"Ini sebabnya peluang-peluang yang selama ini tidak tersentuh yang dilakukan KKB ini diharapkan dengan kerangka UU Nomor 5/2018 itu mempersempit gerakan," kata Eddy.
KKB dan OPM telah buka suara. Mereka menyebut aparat militer Indonesia selama ini yang menyerang warga sipil. Dewan Diplomatik OPM, Amatus Akouboo Douw mengatakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat tak pernah menyerang penduduk sipil Indonesia.
Namun, Amatus mengatakan pasukannya tak segan menyerang warga sipil apabila pemerintah Indonesia tak mencabut kebijakan militer di Bumi Cendrawasih.
"Jika Indonesia melanjutkan program teror dan genosida terhadap penduduk sipil Papua Barat (seperti yang terjadi selama hampir 60 tahun) dan masyarakat internasional tidak melakukan intervensi," ujarnya.
"Pejuang kemerdekaan TPNPB OPM akan mengumumkan kampanye memusnahkan tidak hanya militer Indonesia yang menduduki [Papua] secara ilegal, tetapi juga orang Jawa ilegal dan pemukim Indonesia lainnya yang semakin mencuri tanah suci dan sumber daya orang Papua Barat," kata Amatus menambahkan.
Sementara itu, pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Veronica Koman mengatakan keputusan pemerintah menetapkan KKB atau OPM sebagai terosis telah memutus usaha penyelesaian konflik dengan cara-cara damai.
"Indonesia baru saja memutus jembatan menuju resolusi secara damai," tulis Veronica lewat akun Twitter pribadinya.
Di sisi lain, Ketua Setara Institute Hendardi secara terang-terangan menyebut label teroris terhadap KKB ini sebagai kebijakan terburuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Bumi Cendrawasih
"Pelabelan teroris dan tindakan operasi lanjutannya adalah kebijakan terburuk Jokowi atas Papua," kata dia.
Hendardi mengatakan kebijakan itu kontraproduktif dalam upaya perdamaian di Papua. Menurutnya, cap teroris ini menimbulkan potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang lebih serius.
"Selain kontraproduktif, mempercepat dan memperpanjang spiral kekerasan, langkah pemerintah juga rentan menimbulkan pelanggaran HAM yang serius," ujarnya.
(tst/fra)Babak Baru Pemerintah Lawan KKB di Papua - CNN Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment