JAKARTA, KOMPAS.com - Hidup sopir truk kontainer yang biasa beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara bak memakan buah simalakama.
Pilihannya antara pekerjaan terlambat atau uang jalan habis tak bersisa gara-gara pungutan liar (pungli).
Pekerjaan penting dalam rantai distribusi produksi tak jarang harus rela bertaruh dengan nyawa. Kerasnya kehidupan bekerja sebagai truk kontainer bahkan tak jarang berimbas ke kehidupan keluarga.
Baca juga: Mirisnya Hidup Sopir Truk di Tanjung Priok, Dipalak Preman hingga Petugas Pelabuhan
"Mirisnya itu, kalau anak lagi doyan jajan, eh anak dibentak gara-gara gak punya uang. Padahal uang Rp 2.000-Rp 5.000 disebar-sebar di pelabuhan untuk pungli," ujar Ahmad Holil (42), pria yang sudah bergelut menjadi sopir truk kontainer selama lebih dari 10 tahun saat ditemui di Posko Forum Lintas Pengemudi Indonesia di Cilincing, Jakarta Utara pada Selasa (15/6/2021) sore.
Holil merupakan satu dari sekian banyak sopir truk kontainer yang pernah membentak anaknya. Mereka berada dalam tekanan pekerjaan yang tinggi.
Terima kasih telah membaca Kompas.com.
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Daftarkan email
Uang jalan yang diberikan perusahaan tak jarang habis untuk pungli. Tak jarang, mereka mengeluarkan uang pribadinya untuk operasional pekerjaan.
Saat pulang ke rumah, para sopir truk pun terkadang tak membawa uang untuk keluarga. Sisa uang jalan yang dimiliki para sopir truk kontainer pun ludes untuk membayar pungli.
"Kenapa sopir gak kaya-kaya? Duitnya abis di jalan. Setiap pengeluaran sekecil apapun itu dibebankan ke sopir truk," ujar Holil.
Para sopir truk pun harus memutar otak untuk menyiasati perjalanan ke Pelabuhan Tanjung Priok. Mereka harus menghemat pengeluaran bahkan tak segan untuk menolak pungli. Namun, konsekuensinya adalah terhambatnya pekerjaan para sopir truk kontainer.
Pungli yang kerap muncul, kata Holil, dimulai saat truk kontainer masuk ke pelabuhan peti kemas. Petugas di pintu gerbang pelabuhan seringkali mempermainkan dan menerapkan pungli para sopir truk.
Baca juga: Curhat Sopir Truk Korban Pungli Tanjung Priok: Dimarahin Istri Terus Pulang Tak Bawa Uang
Mereka bisa memperlambat akses masuk truk kontainer ke dalam pelabuhan jika tak diberikan uang. Uang yang biasa dipungut sebesar Rp 2.000.
"Sebetulnya itu kita gak mau kasih, tapi itu dia maksa minta. Sistemnya itu yang ga di-enter. Akhirnya terpaksa kita rogoh kocek kita. Tombol OK itu yang jadi penentu," ujar Holil yang juga menjabat sebagai Humas Persatuan Sopir Trailer Tanjung Priok.
Setidaknya, pungli yang harus dikeluarkan oleh para sopir truk paling minimal Rp100.000 setiap kali perjalanan dari keluar garasi hingga kembali ke garasi truk kontainer.
Jika mesti mengantar ke pelabuhan petikemas untuk pengiriman lokal, pungli akan jauh lebih membengkak dibandingkan pengiriman ekspor dan impor.
"Rp 100.000 itu udah ngotot-ngototan supaya enggak kena banyak pungli," kata Holil.
Baca juga: Pelindo II Klaim Selama Ini Konsisten Atasi Pungli di Tanjung Priok
Holil mengatakan, sopir truk terpaksa membayar pungli. Keterpaksaan tersebut lantaran tekanan deadline pekerjaan.
"Sopir itu kerja dikejar target. Dengan terpaksa harus bayar pungli," ujar Holil.
Sementara itu, pungli di Pelabuhan Tanjung Priok sudah terbilang kronis, kata Holil. Para sopir truk kontainer, lanjut Holil, sudah bertahun-tahun hidup di tengah cekikan pungli.
Holil berharap ada tim pencegahan pungli yang melibatkan para sopir truk kontainer. Tim juga bisa menerima keluhan pungli dengan tetap merahasiakan pemberi informasi terkait pungli.
Ia pun meminta petugas-petugas yang kerap memeras sopir truk kontainer dengan pungli kembali ke jalan yang benar. Holil menyebutkan, petugas tersebut sudah memiliki pekerjaan dengan gaji setara UMR (upah minimum regional)
"Pakailah akhlak hidup. Karena yang mereka peras itu seorang manusia. Setiap hari yang memungli kami itu gajinya UMR, tapi mereka tak punya akhlak," kata Holil dengan nada meninggi.
Sopir Truk Korban Pungli Mengeluh: Anak Mau Jajan Dibentak, padahal Uang Disebar di Pelabuhan - Kompas.com - Megapolitan Kompas.com
Read More
No comments:
Post a Comment