JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Nawawi Pomolango sebagai Ketua Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggantikan Firli Bahuri.
Firli Bahuri diberhentikan sementara dari jabatannya karena ditetapkan menjadi tersangka dugaan pemerasan. Kasusnya saat ini ditangani oleh Polda Metro Jaya.
Atas penetapan tersangka itu, Firli mengajukan praperadilan. Presiden Jokowi kemudian menyatakan sudah mempertimbangkan berbagai hal buat melantik Nawawi.
Akan tetapi, kritik datang dari pakar hukum Prof Romli Atmasasmita terkait pelantikan Nawawi Pomolango.
Romli menilai ada indikasi pelantikan Nawawi tidak sesuai aturan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Baca juga: Usai Firli Tersangka, Nawawi Segera Konsolidasikan Internal KPK
Menurut Romli dalam analisisnya, seharusnya Presiden Jokowi terlebih dulu mengajukan calon pengganti Firli ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan tidak menunjuk langsung Nawawi yang merupakan Wakil Ketua KPK.
"Prosedur penunjukkan Nawawi Pomolango untuk menggantikan Firli Bahuri selaku Ketua KPK mengandung cacat hukum sehingga prosedur penunjukkan dimaksud batal demi hukum dan karenanya segala tindakan hukum KPK dalam melakasanakan tugas dan wewenangnya menjadi tidak sah dan batal demi hukum atau dapat dibatalkan," kata Romli dalam keterangan pers yang dikutip pada Senin (27/11/2023).
Romli mengatakan, mengacu kepada Pasal 70B Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang menyebutkan pada saat UU itu berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan beleid sebelumnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Romli mengatakan, mengacu kepada Pasal 70B Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang menyebutkan pada saat UU itu berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan beleid sebelumnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Baca juga: Anggota DPR Anggap Tak Ada Kecacatan dalam Pelantikan Nawawi Pomolango
Selain itu, mekanisme pergantian pimpinan KPK yang ditetapkan menjadi tersangka diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden mengacu pada Pasal 32 ayat (2).
"Pasal 33 ayat (1), dalam hal terjadi kekosongan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia," kata Romli mengutip undang-undang.
Lantas pada Pasal 33 ayat (2) UU disebutkan, prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31.
Romli dalam analisisnya menyatakan, Presiden Jokowi berwenang mengangkat langsung pengganti pimpinan KPK jika terjadi kekosongan yang menyebabkan jumlah komisioner berjumlah kurang dari 3 orang. Hal itu tercantum pada Pasal 33A ayat (1).
"Pergantian pimpinan KPK dan penunjukkan pimpinan baru KPK hanya dapat dilaksanakan jika jumlah pimpinan KPK berkurang hanya tinggal 3 orang; hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa setelah Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka, pimpinan KPK tersisa 4 orang," papar Romli.
Baca juga: Istana Tegaskan Penetapan Nawawi Pomolango Sebagai Ketua Sementara KPK Sesuai Koridor Hukum
Romli menambahkan, jika mengikuti prosedur pergantian pimpinan KPK dengan penunjukkan Nawawi Pamolango yang juga pimpinan KPK semasa Firli selaku pengganti, maka pimpinan KPK berjumlah 4 orang dan tidak berjumlah 5 orang, sebagaimana telah ditetapkan berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002 dan UU Nomor 19 tahun 2019.
Nawawi Pomolango Dilantik Jadi Ketua KPK dan Pro Kontra Para Pakar - Kompas.com - Nasional Kompas.com
Read More
No comments:
Post a Comment